Kamis, 22 April 2010

PERSARATAN CACAT MORAL DAN BERPENGGALAMAN DALAM BIROKRASI UNTUK CALON KEPALA DAERAH Sebuah Komentar Oleh : Saepudin, MA

KPU Kab. Tegal
Baru-baru ini muncul perdebatan hangat di kalangan eksekutif, legislative bahkan juga para pengamat politik tentang perlu atau tidaknya persyaratan Cacat Moral untuk calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah di dalam Pemilu Kada. Bahwa di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah terdapat klausul yang mengatakan bahwa salah satu syarat calonKpela daerah adalah “Tidak melakukan perbuatan tercela” atau cacat moral. Juga disebutkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2009 sebagai revisi atas UU Nomor 32 tahun 2004.
Ternyata persoalan ini mendapatkan tanggapan yang cukup serius oleh beberapa kalangan. Isu yang terkini bahwa persyaratan Cacat moral bagi calon kepala daerah akan dihapus dengan menggunakan revisi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Sebahian lagi mempertahankan untuk dituangakan dalam perundangan.
Menurut penulis bahwa moralitas tinggi adalah bagian yang mesti dipunyai oleh pemimpin dalam sebuah Negara. Bagaimanapun juga ketika moralitas pemimpin ada dalam posisi di bawah derajat hewan, maka akan berimplikasi terhadap produk kebijakan yang ditetapkannya. Tentunya Negara tercinta ini yang berbasis agamis dan mistis tidak mau alfa dari dimensi nilai, tidak mungkin bersikap value Free jika tidak mau dikatakan Negara sekuler. Maka nilai-nilai susila dan transenden musti ada kepribadaian bangsa kita.
Maka apabila clausul tentang “catat moral” bagi calon kpeala daerah akan dipertahankan di dalam perundangan Pemilu Kada, yang perlu ditajamkan kembali adalah batasan-batasan cacat moral itu sendiri. Apakah yang disebut cacat moral juga diterapkan kepada pelaku moral kelas ringan seperti pernah “mencaci orang”. Manusia tidak akan lepas dari kealfaan dan kesalahan walaupun sedikit, atau apanyang kerap disebut dengan istilan “manusiawi. Akan tetapi batasan “cacat moral dalam kontek Pemili Kada harus ada batasan yang kongkrit. Misalnya bahwa calon yang pernah atau sedang terkena kasus hokum dengan delik tuitututan 15 tahun penjara tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Isu lain yang juga mengundang kontroversi adalah sebagaimana disamapaikan oleg Gamawan Fauzi (Mendagri), bahwa syarat calon kepala daerah adalah “seseorang yang pernah berpengalaman di pemerintahan”. Jika ditilik secara proporsional memang sangat representative untuk lajunya proses good govermrnt dan Good Governent, dalam menciptakan pemerintahan yang berwibawa dan tata kerja pemerintahan yang baik. Akan tetapi bila dilihat dari sudut konstitusi, makan berkesan menghilangkan ruang pluang bagi masyarakat umum dan para politisi untuk menuju kearah pencalonan. Wajar jika salah satu badan riset, lingkar Madani berkomentar agar keras, (Kompas Kamis 22 April 2010.)
Dalam hal ini penulis akan mengusulkan kepada para pembuat kebijakan, agar meninjau terminology “Berpengalaman di bidang Pemerintahan” apakan yang dimaksud pemerintahan adalah unsure eksekutif pemerintahan yang banyak dikenal masyarakat, ataukan ada interpretasi laian tentang “eksekutif”? Kereta aja kelas eksekutifnya beda-beda kok…..

=========================================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar