Rabu, 14 April 2010

DILEMA HUKUM PRAKTEK MONEY POLITIK PASCA PEMILU Oleh: Saepudin,

KPU Kab.Tegal
Praktek politik uang (money Politik) kerap terjadi dilakukan oleh peserta Pemilu Legislatif, pemilu Presiden, maupun Pemilu Kada, bahkan hingga Pilkades. Namun pada endingnya menjadi dilema saat dibuktikan di persidangan, apakah ketetapan hukum yang dikeluarkan oleh hakim cukup dibuktikan dengan pengakuan, alat bukti uang-barang, atau yang lainnya, ataukan akan batal demi hukum oleh karena tidak adanya bukti- bukti yang dipilih melelui surat suara? Jika penanganan kasus dilakukan pra pelaksanaan pemungutan suara, maka jelas pelaku akan terkena pasal mony politik, yakni “seseorang yang memberikan dan atau menjanjikan uang, barang atau yang lainnya untuk mengajak dan mempengaruhi agar memilih partai tertentu maka dikenai pasal pidana Pemilu”. Klausul ini pernah terbukti di Kabupaten Tegal pada Pemilu 2004 dimana ada 5 (lima) kasus pelanggaran pemilu, 4 (empat) diantaranya adalah politik uang yang mendapatkan putusan pengadilan Negeri Slawi. Berbeda kondisinya pada pelaksanaan Pemilu 2009, dimana tidak ada satupun kasus politik uang yang diangkat sampai ke Pengadilan, walaupun pada kenyataannya hampir sebagian besar peserta Pemilu melakukannya.

Namun apabila kasus politik uang dilaporkan pasca Pemilu, maka jaksa penuntut umum atau pelapor harus dapat membuktikan secara benar bahwa calon pemilih atau yang dijanjikan uang dan atau barang untuk memlilih partai tertentu dengan pembuktian pada surat suara yang ditandainya. Pertanyaan kemudian; bagaimana untuk mendapatkan dan mengidentifikasi surat suara yang telah ditandainya? Hal ini sangat menyulitkan pelapor untuk menunjukan bukti tersebut.

Pasal pidana Pemilu tentang politik uang mungkin perlu ditinjau kembali bahkan “kurang efektif” pada tataran implementasi. Setidaknya memberikan kesan pada masyarakat bahwa pasal tersebut hanya sebuah terobosan normative yang bersifat flamboyan. Bagaimana tidak, karena aktualisasi hukum pada persoalan ini belum dapat dilakukan secara tegas. Pasal pelanggaran mony politik dituangkan atau tidak ditungkan dalam undang-undang pemilu sama saja belum bisa efektif. Maka apabila tidak menyalahi konstitusi pasal tersebut jika ditiadakan pun tidak akan berefek jauh sebagaimana efek dituangkannya dalam undang-undang pemilu. Toh masyarakat akan lebih selektif dan dapat menilai sesungguhnya siapa dan partai mana yang hendak dipilih sebagai wakil baik di legislative maupun di eksekutif. Sayangnya masyarakat Indonesia belum semuanya menyadari akan demokrasi yang ideal, dan menyadari bahwa perwakilan di tingkat eksekutif maupun di legislative adalah lokomotif yang akan menentukan kemana negeri ini akan dibawa.

Persoalan mony politik tidak an sih disebabkan oleh kondisi social-ekonomi masyarakat saja, akan tetapi juga disebabkan oleh pendidikan politik terutama dari parpol yang belum representative. Buktinya dari pemilu ke pemilu sampai pemilu kada dan pilkades, sebagian masyarakat pada waktu kampanye dan terutama hari H menunggu-nunggu pemberian dari calon dan tim sukses, entah berupa uang maupun barang. Ironisnya, masyarakat tidak bias membedakan mana tim sukses dan mana penyelenggara. Saat di malam hari H penyelenggara monitor logistic di beberapa TPS, justru yang ditanyakan adalah bagi-bagi uang.

Kasus serupa terjadi di Pemilukada Kabupaten Wonosobo, sebagaimana informasi melalui kompas tanggal 12 -14 April 2010, Panwas Wonosobo berhasil mengklarifikasi di atas 10 Kecamatan yang diindikasikan menerima money politik dari salah satu pasangan calon. Namun hasil klarifikasi tersebut akan dilanjutkan ke instansi yang berwenang atau tidak? apakah hanya sebatas klarifikasi tanpa ada kelanjutan proses hukum? Jika lanjut, apa konsekwensi dari pasangan calon yang unggul bila terbukti dipengadilan, akankah menggugurkan hasil pemilu? Apakan dengan karena ratusan ribu rupiah dapat menggugurkan calon terpilih jika dibandingkan dengan milyaran rupiah yang telah dikeluarkan oleh calon?. Tentunya institusi yang berwenag akan hitung-hitungan dalam menentukan kepastian hukumnya. Persoalan lain juga akan muncul pada praktek money politik yang dilakukan oleh pasangan yang tidak jadi. Apa konsekwensi dari pelanggaran tersebut? Apakan ada sangsi yang sebanding dengan pengguguran pansangan calon yang jadi? Ini sebuah dilemma.

Maka jika pasal money politik sekiranya dipandang belum perlu untuk diterapkan dalam undang-undang Pemilu, lebih baik dibanding dalam jangka waktu yang tidak ditetntukan sembari menunggu kondisi bangsa ini memahami secara komperhensif tatanan demokrasi, toh sanggsi moral adalah salah satu jawabannya.

=====================================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar