Rabu, 19 Mei 2010

SENGKETA PEMILU BUKAN TENDENSIUS
Ekstra Kesiapan sebelum ke Mahkamah Konstitusi (MK)

KPU. Kab. Tegal
Pengalaman segketa Pemilu 2009 cukup menjadi pelajaran bagi peserta Pemilu dan masyarakat secara luas. Bagaimanapun juga konsekwensi dari perjalanan hukum tidak hanya menguras financial saja, akan tetapi juga menguras waktu, pikiran, kehormatan, pristese, dan lain sebagainya. Berapa banyak “pemohon” pada pemilu 2009 yang mengajukan gugatannya ke MK atas dugaan sengketa pemilu yang akhirnya harus menerima kekalahan atau tidak terkabulnya gugatan oleh MK. Begitu juga sebaliknya, bagi termohon “Penyelenggara Pemilu” lebih berhati-hati bagaimana agar tdak terjadi reaksi gugatan dari peserta Pemilu. Sesungguhnya sengketa pemilu dapat dijembatani melalui duduk bersama terlebih dahulu antara calon terpohon dengan pemohon untuk mencarai solusi terbaik dan sama-sama control diri (dengan tidak konspiratif), apakah sengketa tersebut layak dan kuat diangkat ke MK?
Secara psikopolitis kongkurensi peserta tidak dapat menerima secara spontan bila ada dalam posisi kalah. Emosional politik pasti sedikit banyaknya akan muncul pada saat mengalami kekalahan berkompetisi. Ketidak puasan dapat muncul dari calon sendiri, juga terkadang justru muncul dari para pendukungnya. Mereka lelah, peras keringat banting tulang untuk mensuskseskan jagonya sampai final dan mendapat kemenangan. Emosional pendukungnya yang justru terkadang menjadi boomerang pada diri calon atau peserta Pemilu. Maka jika menemukan dugaan kecurangan dalam proses Pemilu yang tidak substantif dijadikan alasan kuat untuk “mensengketakan” dan “menyatakan” bahwa Pemilu dinyatakan “tidak sah” atau “batal” demi hukum, kemudian diangkat ke MK. Atau terkadang justru ada tendensi pribadi antar calon, yang menyangkut track record. Apabila sengketa telah terkondisikan dengan tendensi pribadi dan tendensi politis akan berakibat fatal bagi calon penggugat.
Kasus keputusan MK yang dijatuhkan kepada “ Termohon” dari pasangan calon Wali Kota dan Wakil Walikota Semarang yang kalah, pada tanggal 18 Mei 2010 yang tidak dikabulkan gugatannya, bukan menjadi satu-satunya contoh proses gugatan di MK. Banyak juga gugatan-gugatan di MK dari daerah-daerah lain yang juga mengalami keputusan yang sama. Maka calon penggugat sebelum diangkat ke MK terlebih dahulu mengkaji dengan seksama kasus yang dijadikan gugatan, dan jauhilah dari tendensi pribadi maupun tendensi politik.

Ruwed nemen ngawa ndas bundas

Piben ora ruwed wong kang faoyi nembe mbaca peraturan siji urung rampung garo urung paham wis anjog maning peraturan liya sing pada bae pasale. kaya wingine dong pemilu 2009 le....nang UU nyontreng sapisan kok jebule metu maning aturan2 sing masalah nyontreng, wujud tanda nyontrenge bae pirang-pirang macam2 nganti ana 5, nyong nganti bundas ngole mikirna soale masyarakat pada takon, dongene piben sih kpu gole ngawa aturan pirang-pirang macem nenem. ya akhire jare kang faoyi wis pada takon aring KPU pusat manah lah sing seringe ngawe aturan sing berubah-ubah.

Senin, 17 Mei 2010

guyonan ala kang sutam

Deleng wira-wirine anggota dewan terhornat sing ganggo mobile "parejo eh...Pajero" kang suntam rada nglegle karo atine mbatin " donge gajine dewan pira sih bisane awake lemu-lemu klambine apik-apik karo nganggone mobil ". kalah penasaran nyong teka aring pakar poltik tur tokoh sing arane raswad nakokna perihal mau : nyong teka neng omahe " pak raswad lagi along-along neng lawang ngarep, nyong ora basa-basi langsung takon bae. Pak Raswad nyong patakon bisane anggota dewan wetenge gendut-gendut kenang apa sih pak...terus pak raswad jawab...kowen pingin ngerti tam...kae bisane wetenge dewan gendut-gendut anggere ora cacingen ya mangan barang haram, rika ditakoni temenen kak jawabe gluwean kiye nyong temenan takone. pak raswad akhiri jawab " kowen takon bae aring gusti Allah mana bari mmanjing karo gebrok lawan", saking enenke karo sutam. sutam luka bari ngedumel.
PEMILIHAN UMUM
Milih sungkan…. Ora milih bleh kepenak

Kang Wata kwe golongane wong sing sregep merhatikena perkembangane politik kususe ning Slawi. Wonge tah ora mercayani, angger dideleng anggo-anggone be sadawane urip ora pernah ngaggo klambi ataw celana sing regane sket ewu menuduwur, rambute ya ora pernah mambu minyak, apamaning nganggo minyak wangi (parfum). Kang Wata lamon dideleng pendidikane ya mung-mungan, deweke kur lulusan SD. Jare kanca-kanca sa letinge, si Wata sabenere pinter, tapi pan keprimen maning, wong go mangan bae terkadang angel, dadi ora bisa nerusena sekolah kaya batir-batire.
Dasare bocah uteke rada cerdas, deweke melu garo wong pinter sing gaweane ning perpolitikan. Taun-taunan deweke melu karo wong pinter mau, sampe ngerti apa sing hubungane karo politik. Ngomonge be kadang-kadang sok kaya politikus kelas berat. Ya kwe mau, kranane ora due dasar pendidikan sing lumayan, deweke mung pinter satitik tapi sok pinter, malah terkadang gayane kaya ya-yaha. Inpormasi apa bae sing ning Kabupaten Tegal herane ngerti kabeh, kayane dong bose lagi krisisk-krisik garo solmete si Wata kayonge nguping. Lah wong perkara sing sabenere rahasia nemen be si Wata ngerti.
Sijineng dina si Wata ditakoni daning pak Markum sing saiki lagi njagong ning kursi empuk Dewan, tegese anggota DPR. Takone kaya kiye “ Ta… pendapate kowen dong rame-rame ana Pemilu piben?” si Wata rada kaget, ning jero atine karo mbatin, bisane anggota dewan terhormat takon masalah Pemilu ninmg aku? Apa nyong dianggap wong hebat ya….?. krana wateke si wata sok pinter, deweke njawabi,malah sok-sokan nganggo bahasa popiler. Jawabe si Wata kaya kiye” pak Dewan…saya ini mengamati dan juga pernah ikut pemilu selama kurang lebih 12 (dua belas) kali, agaknya belum menemukan hasil pemilu yang sesuai dengan konsep demikrasi yang ada di negeri tercinta ini. Bagaimana demokratisasi akan terwujud dengan baik, jika demokrasi hanya cukup dibeli dengan Rp. 5000 s/d Rp.20000..? jawab si Wata garo tangane malangkerik. Apa kwe sing diarani many politik ya… jare si Wata. Angger kaya kwe tah sing penting saiki golet duit bae se karung, kaya aku sing ibarate jongos be bias dadi dewan. Tapi si Wata mbatin nimpali omongane dewek. Negara pan maju piiiben… wong awale be wis nganggo duit, mengko dong wins ning dewan kaya aku pikirane pibe bias modale balik, durung utange sing ning bank, lan liya-liyane. Ya begitu jawabane aku sing penting DPR aja dadi ajang kanggo nggolet kerjaan.
Terus pak. Markum takon maning… “ pemilu rong ewu sanga kowen milih apa ora Ta…?” bisane takone kaya kuwe pak? Jarene Pemilu ber-asas-kan langsung,umum, bebas, rahasia, jurur dan adil? Angger takon milih apa ora karo nyong berarti ora rahasia o ya…? Jawabe si Wata. “Kye tah mumpung wis lubaran ikihan…” dijawab maning karo pak Darkum. “Sabenere aku sungkan milih, tapi ora kepenak garo wong sing pernah nei duit garo akau. Jawabe si Wata garo ngekek…” Bisane sungkan milih Ta…? Ora sungkan piben, wong dong kampanye janjine muluk-muluk, tapi dong wis dadi akeh sing ora di tepati. Contone lurung sing ning wetan umahe nyong tutug mbelet, benyek ora diaspal-aspal. Ya wis lah, kakehan ngritik mbokan diarani wong ala… wis ya pak akau lagi ditunggu bojo pan kulakan bodin go napkahi keluarga, ader kaya sampean sing gari nuding be olih duit, jawab si Wata garo ngcingkag…… he…he…..

Selasa, 11 Mei 2010

STRATIFIKASI MASYARAKAT DALAM PEMILU

Analisis angka partisipasi pemilu
Oleh : Saepudin

KPU Kab. Tegal
Perubahan paradigma Pemilu melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 agaknya memebrikan kuwalitas di dalam proses demokratisasi. Akan tetapi di sisi lain juga memunculkan hambatan baru yakni pada tataran sikap apatis dan cuek terhadap masyarakat itu sendiri oleh karena Pemilu pasca reformasi diselenggarakan dalam waktu yang berhimpitan. Bahkan dalam satu tahun terkadang sampai melaksanakan pemilu sampai lima kali. Mulai dari pilkades, pemilu Bupati dan wakil bupati, pemilu gubernur, pemilu legislkatif, dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Gaerh partisipasi masyarakat dalam Pemilu akhir-akhir ini mengalami penurunan yang signifikan. Salah satu bukti adalah pada pelaksanaan pemilukada di beberapa Kabupaten/Kota, partisispasi pemilih hamper tidak ada yang mencapai 80% dari jumlah pemilih tetap, bahkan juga ada yang harus dua kali putaran. Kasus pemilukada di Kabupaten Kebumen adalah salah satu contoh dari 35 kabupaten/kota yang melaksanakan Pemilu kada ulang (putaran kedua) karena tidak ada pasangan yang memperoleh 30% dari pemilih tetap.
Ada bebrapa factor yang menebabkan menurunya angka partisipasi dalam pemilu, antara lain: Pertama, Masyarakat sudah mulai jenuh dalam mengikuti pemilu. Rasio ini biasanya ada pada strata masyarakat menengah baik dari sudut sosioekonomi maupun dalam kapasitas intelektual. Mereka adalah golongan yang serba tanggung namun seakan mengetahui atau dalam bahasa ektrimnya adalah “sok pinter”. Golongan ini secara psikologis agak sulit kompromis, bahkan terkadang menjadi “profokator” terhadap yang lainnya dalam melemahkan partisipasi pemilu.
Factor kedua, disebabkan oleh kondisi masyarakat yang terserah kepada figure. Artinya ketergantungan kepada siapa yang menjadi tokoh (figur) di wilayahnya maupun tokoh partainya, bahkan tokoh agama setempat. Rasio ini biasanya ada pada strata masyarakat tingkat bawah dari dimensi sosioekonomi maupun dari sudut intektualnya. Strata ini sesungguhnya potensi untuk diberdayakan secara maksimal dalam mendongkrak angka partisipasi pemilu.
Faktor ketiga, adalah disebabkan oleh banyaknya urban yang bersifat temporal kondisional. Artinya adalah masyarakat perantao tidak tetap. Angaka urban untuk wilayah tegal, Brebes, Banyumas, Kebumen, dan wilayah-wilayah sekitarnya termasuk daerah yang terbesar angka urbannya di Jawa Tengah. Strata ini yang sesungguhnaya menjadi panglima suksenya angaka partisipasi dalam pemilu. Dengan rasio jika masyarakat urban bias pulang semua untuk menggunakan hak politiknya dalam pemilukada, maka kemungkinan besar angka partisipasi akan terdongkrak dan dapt memenuhi penentuan terpilihnya salah satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Factor keempat , adalah politik kepentingan. Factor ini biasanya ada pada elit politik atau strata masyarakat papan atas. Golongan ini tidak semuanya berada di atas secara alamiyah, namun juga ststus “papan atas” nya terkadang tumbuh secara premature. Semisal seseorang yang secara financial kuat tetapi lemah secara intelektual dapat menduduki posisi strategis dalam lembaga politik, sebagaimana fenomena “sebagian para anggota legislative yang saat ini duduk sebagai perwakilan rakyat”. Apabila politik sudah ditunggangi oleh kepentingan maka akan berimplikasi pada sisitem demokrasi yang tidak sehat. Terjadilah poitik uang (mony politik) demi tercapanya kepentingan pribadi dan golongan. Barangkali factor ini yang menjadikan masyarakat sedikit apatis bahkan terkesan cuaek terhadap penyelenggaraan pemilu.

5 ANGGOTA KPU MANADO TERANCAM DIBERHENTIKAN

Oleh : Akhmad Fauzi

Keputusan pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Manado, menetapkan Pemilihan Walikota (Pilwakot) Manado akan digelar pada 29 September 2010. Artinya KPU Manado tidak akan mengikuti Pemilukada serentak dengan KPU Sulut dan kabupaten/kota lainnya pada 3 Agustus 2010. Di Provinsi Sulawesi Utara terdapat 5 (lima) daerah yang sedianya akan menyelenggarakan pemilu kada secara serentak dengan pemilu kada Provinsi Sulut, kelima daerah tersebut antara lain;Minsel, Minut, Boltim, Bolsel dan Tomohon. Untuk efisiensi anggaran KPU Sulut meminta agar KPU Manado menyesuaiakan dengan jadwal pilwakot provinsi sulut. Namun berdasarkan hasil pleno, KPU Manado tetap bersikukuh akan menyelenggarakan pemilu kada sesuai dengan tahapan, jadwal, dan program pemilu kada yang telah disusun. Atas keputusan tersebut, KPU Manado dianggap telah melanggar kode etik, dan jika terbukti terdapat pelanggaran kode etik, kelima anggota KPU Manado terancam diberhentikan. Namun dukungan moral terhadap keputusan KPU Manado yang tetap akan menggelar pilwakot pada tanggal 29 September 2010. Dukungan mengalir dari beberapa komponen masyarakat, salah satunya dari DPRD Manado, dan Royke Mandey, Mantan Ketua Panwaslu Minsel, yang berpandangan jika Pemilukada Sulut bersama 5 kabupaten/ kota lainnya, seperti Minsel, Minut, Boltim, Bolsel dan Tomohon kalau tetap dipaksakan pelaksanaannya pada 3 Agustus 2010, maka itu sama halnya dengan korupsi, karena keputusan itu tak sesuai peraturan perundang-undangan berlaku.

Penegasan tentang penyelenggaraan pilwakot Manado tanggal 29 September 2010 diutarakan langsung oleh Ketua KPU Manado, Dolfie Angkouw. Kata dia, ada beberapa pertimbangan mengapa Kota Manado tetap menggelar Pemilukada pada 29 September 2010.

"Pertama, waktu pelaksanaan pada 29 September telah disetujui DPRD Manado. Kedua, bila waktu pelaksanaan didekresi ke bawah dan mengikuti alur yang ditetapkan KPU Pusat, tahapan pendaftaran para calon telah ditutup. Jadi kecil kemungkinan, bahkan tak ada, bagi Manado melaksanakan Pemilukada serempak dengan wilayah lainnya,"ujar Dolfie.

Dolfie juga mengakui, supervisi yang dilakukan KPU Sulut ke KPU Manado beberapa waktu lalu, terkait penyamaan persepsi soal waktu pelaksanaan Pemilukada, menemui jalan buntu. Pihaknya, lanjut Dolfie, bersikukuh pelaksanaan Pemilukada tak bisa diundur. Sebelumnya, beberapa kalangan menilai, pelaksanaan Pemilukada secara serempak 3 Agustus mendatang justru melanggar ketentuan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulut, telah dengan sengaja melanggar ketentuan dan perundang-undangan karena mengabaikan amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Peraturan KPU Nomor 62 Tahun 2009 sebagai pedoman penyusunan tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan Pemilukada. Menurut pandangan saya, wacana memberhentikan kelima anggota KPU Manado sangatlah berlebihan. Sebab yang dilakukan oleh teman-teman anggota KPU Manado sudah sesuai dengan aturan. Dimana dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 disebutkan bahwa, tugas dan wewenang KPU kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi; merencanakan program, anggaran, dan jadwal pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah kebupaten/kota. Jadi, keputusan KPU Manado untuk tetap bersikukuh dengan jadwal penyelenggaraan pilwakot yang telah disusun adalah sebagai bentuk ketaatan terhadap perundang-undangan. Bagaimana mungkin lembaga pemilu yang telah mentaati peraturan perundang-undangan justru terancam akan "diseret" dihadapan dewan kehormatan? Maju terus pantang mundur KPU Manado! Sungguh terlalu ...

Senin, 10 Mei 2010

MENANTI PEMBENTUKAN PENGADILAN PEMILU

Oleh : Akhmad Fauzi

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bab XX tentang penyelesaian pelanggaran pemilu dan perselisihan hasil pemilu, pada pasal 247 ayat (1) disebutkan, Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri menerima kaporan pelanggaran pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Sedangkan siapa yang dapat bertindak sebagai pelapor dalam kasus pelanggaran pemilu, lebih lanjut pada ayat (2)disebutkan, yang dapat menjadi pelapor antara lain; warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu atau peserta pemilu. Namun demikian, dari beberapa dugaan pelaggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu, belum bisa ditangani secara maksimal oleh lembaga peradilan. Hal ini disebabkan kasus pelanggaran pemilu masih ditangani oleh peradilan umum. Mestinya pelanggaran pemilu langsung ditangi oleh sebuah lembaga peradilan khusus yang ditangani oleh jaksa dan hakim yang paham betul tentang kepemiluan. Untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas, mestinya ada tindak lanjut dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh pengawas pemilu. Tindak lanjut yang tidak akan melukai rasa keadilan publik. Bahwa siapapun peserta pemilu yang jelas-jelas melakukan pelanggaran, maka harus mendapat sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Secara psikologis, publik akan merasa kecewa manakala terdapat pelanggaran yang ujung-ujungnya dipetieskan atau dikompromikan. Produk pemilu menjadi hambar. Tidak memiliki kekuatan emosional. Untuk itu sudah saatnya Jaksa Agung membuat lembaga baru, yaitu mendirikan lembaga peradilan khusus yang menangani tindak pidana pemilu. Bukan lembaga ad hoc, tetapi bersifat tetap, dan nasional. Lembaga tersebut secara hierarkis sampai tingkat kabupaten/kota. Dengan adanya lembaga baru tersebut, diharapkan pelanggaran pemilu dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Jika lembaga ini terbentuk pada akhirnya akan mempercepat bangsa ini menjadi negara demokrasi terbesar didunia. Semoga ...